Anggota

Rabu, 15 Juni 2016

Kedudukan harta warisan anak

Nama   : Lia Setia Ningsih                                          NIM    : 131410284
PANDANGAN ISLAM MENGENAI HUKUM ANAK HASIL INSEMINASI, ANAK ANGKAT/ADOPSI DAN ANAK ZINA

1.      Anak hasil Inseminasi
Masalah bayi tabung/inseminasi buatan telah banyak dibicarakan dikalangan islam dan non-islam, baik dikalangan nasional maupuninternasional. Misalnya majlis tarjih muhammadiyah dalam maktamarnya tahun 1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma[1]. Lembaga fiqih dalam islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengadakan sidang di Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan, dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma atau ovun donor[2]. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam kerastelahmengancam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan, dan sleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tidak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia[3].
Bayi Tabung/inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya keladalm rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain(bagi suami yang paligami), maka islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sel sperma suami, kemudian disuntikkan kedalam vagina atau uterus istri, maupun denga cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya(vertilized ovum) ditanam didalam rahim istri asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memeperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Sebaliknya, apabila inseminasi ini dilakukan dengan bantuan donor aperma atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina(prostitusi) dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya[4].

2.      Anak Adopsi
Anak Adopsi yaitu mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua[5].
Bagaimana pandangan islam mengenai adopsi? Apabila adopsi atau tabanni(bhs arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung”, maka jelas Islam melarang sejak turun QS.Al-Ahzab:37
Artinya: “maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya(menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia(setelah habis idahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istri-istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
            Surah Al-Ahzab ayat 37 yang menerangkan kasus Zaid dengan Zainab diatas adalah untuk menegaskan, bahwa:
1.      Adopsi ssperti praktek dan tradisi di zaman jahiliyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh islam.
2.      Hubunagan anak angkat dengan orang tua angkat dengan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan[6], baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti dijawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat[7].
Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antara anak angkat dan orang tua angkat, sehingga merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehiupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjujung tinggi oleh islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagai hartanya untuk kesejahteraan anak angkatnya. Dan apabila orangtua waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka sey ogianya ahli waris orang tua angkatnyabersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.

3.      Anak hasil Zina
Anak Zina ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah. Menurut hukum perdata, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw:
Artinya: “semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, atau nasrani atau majusi (HR Abu ya’la Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari)[8].
Dan berdasarkan firman Allah dalam QS Al-Najm:38
Artinya: “Bahwasanya bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa yang lain.”
Karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, deberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan kehidupannya baik materil spiritualnya adalah yang terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati membuangnya untuk menutupi malu/aib keluarga, maka siapapun yang menemukan anak (bayi) zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya dan wajib untuk mengasuhnya, mendidiknya dengan baik, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atas harta pribadi keluarga tersebut dan bisa juga atas bantuan Baitul Mall. Dan bisa juga anak tersebut diserahkan kepada Panti Asuhan Anak Yatim.



Daftar Pustaka
1.      Muhammad thahir badri,”imam jenazah pratelan”, panji masyarakat, No.514 tahun XXVIII/I September 1986,hal 20.
2.      “Fatwa lembaga fiqih islam OKI Tentang Bayi Tabung”, Panji Masyarakat,No.525 Tahun XXVIII/21 Desember 1986, hal 34.
3.      “vatikan Resmi Mengecam Pembuahan Buatan”,Kompas,12 Maret 1987,kolom4-9,hal 1
4.      Mahmud Syaltut, al-Fatwa, Cairo, Darul Qalam,n.d,hal.326-329
5.      Mahmud Syaltut,AL-fatwa, Mesir Darul Qalam,s.a, hal 321-322
6.      Ibid
7.      B.Ter Haar Bzn,op.cit hal.184
8.      Al-Suyuti, AL-Jami’ al-Shaghir,vol.II,Cairo,Musthafa al-Babi al-Halabi 1954, hal 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar